Bukan Pelanggaran Hukum, Agus Zainudin : Sanksi Adat Serampas Pengusir Perambah Diakui Negara

  • Whatsapp

Merangin, Benuajambi.com – Polemik terkait pengusiran sejumlah pendatang di Desa Renah Alai, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, terus menuai perdebatan. Sebagian pihak menilai tindakan tersebut melanggar hukum nasional karena didasarkan pada peraturan adat setempat. Namun, pandangan itu dibantah tegas oleh Agus Zainudin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA) dan mantan Ketua Bappeda Kabupaten Merangin.

Menurut Agus, peraturan adat di wilayah Serampas sah dan diakui oleh konstitusi negara. Penegasannya ini merujuk pada pengakuan resmi terhadap Desa Renah Alai sebagai bagian dari wilayah masyarakat hukum adat Serampas.

Bacaan Lainnya

“Desa Renah Alai adalah bagian dari wilayah masyarakat hukum adat Serampas yang telah diakui secara resmi oleh negara. Jadi, peraturan adat di sana tidak bisa dikatakan melanggar hukum,” tegas Agus kepada wartawan, Rabu (29/10/2025).

Agus menjelaskan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia telah dijamin secara fundamental oleh Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Pengakuan tersebut juga dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mengatur bahwa penetapan masyarakat hukum adat dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda).

  • Jaminan Konstitusi : Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
  • Penguatan Legislatif : UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
  • Legalitas Lokal : Pengakuan sah melalui Perda Kabupaten Merangin Tahun 2016.

Agus menegaskan bahwa peraturan adat di Serampas adalah instrumen sah untuk menjaga tatanan sosial dan kelestarian lingkungan, khususnya di kawasan hutan adat dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Ia menekankan bahwa sanksi adat, termasuk pengusiran terhadap pelanggar berat seperti perambah hutan, bukanlah pelanggaran hukum. Sebaliknya, itu adalah mekanisme penegakan hukum adat yang diakui dan dihormati oleh negara.

Agus justru menilai tindakan merambah kawasan hutan di wilayah adat Serampas dan TNKS sebagai pelanggaran hukum pidana lingkungan hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 50 jo. Pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999, dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga lima miliar rupiah.

“Yang melanggar hukum bukan masyarakat adat yang mempertahankan aturan, tetapi mereka yang merambah kawasan hutan. Ini harus dipahami dengan benar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Agus mengingatkan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi masyarakat hukum adat Serampas dari segala bentuk intimidasi atau pelemahan terhadap sistem adat.
Ia memperingatkan bahwa jika ada kepala desa atau pihak lain yang secara publik menyebut peraturan adat Serampas tidak sah, hal itu justru bertentangan dengan konstitusi.

“Masyarakat adat bahkan bisa mengusulkan pemberhentian kepala desa (yang menentang aturan adat),” katanya.

Agus menyimpulkan bahwa sistem hukum Indonesia bersifat pluralistik, memungkinkan hukum adat dan hukum nasional berjalan beriringan.

“Hukum adat Serampas lahir dari pengalaman panjang masyarakat menjaga harmoni sosial dan kelestarian alam. Ia bukan pelanggaran, melainkan bagian dari identitas hukum bangsa yang dijamin oleh konstitusi,” tutupnya. (Ran)

Sumber : Jambidaily.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *