Bungo, Benuajambi.com – Kinerja Bupati Bungo, Dedy Putra, dan Wakil Bupati, Tri Wahyu Hidayat, genap 100 hari pasca dilantik pada 4 September 2025. Perayaan ini disambut dengan pertanyaan kritis dari berbagai pihak, terutama terkait janji kampanye mereka untuk memberantas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang meresahkan masyarakat. Ziqri Julian Saputra, Ketua Kader Inti Pemuda Anti Narkoba (KIPAN), mempertanyakan apakah janji-janji tersebut hanya “janji manis” belaka.
Sebelumnya, dalam sebuah agenda di Amaris Hotel, Bupati Dedy Putra dengan tegas menyatakan bahwa pemberantasan PETI akan menjadi salah satu program wajibnya selama 100 hari pertama menjabat. Pernyataan ini disambut baik oleh masyarakat yang selama ini dirugikan oleh aktivitas ilegal tersebut. Namun, realitas di lapangan tampaknya tidak sejalan dengan janji politik yang telah disampaikan.
Menurut Ziqri, faktanya aktivitas PETI di Kabupaten Bungo masih terus beroperasi tanpa rasa takut. Para pelaku PETI bahkan seolah tak menghiraukan pernyataan pemerintah dan aparat penegak hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat: apakah kekuatan pemerintah dan aparat penegak hukum di wilayah Bungo sudah tidak lagi disegani oleh para pelaku kejahatan lingkungan ini?
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya, memberikan kesaksian bahwa aktivitas PETI justru semakin berani dan meluas. “Kegiatan PETI tetap saja masih berjalan sebagaimana biasanya, dan justru saat ini sudah amat berani menjalar pada wilayah-wilayah yang mengarah kepada ibu kota,” ungkapnya. Pernyataan ini menjadi indikasi kuat bahwa masalah PETI di Bungo tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Dampak buruk PETI bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat sekitar. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat lingkungan hidup dan kesehatan warga harus menjadi prioritas utama pemerintah daerah. Salah satu pihak yang paling merasakan dampaknya adalah sektor pendidikan.
Pondok Pesantren Babul Ma’arif, misalnya, kini menghadapi krisis air bersih. Seorang pengurus pesantren menyampaikan keluhannya, “PETI ini sudah amat sangat meresahkan. Pondok pesantren saat ini tengah menghadapi kesulitan dalam penyediaan air bersih.” Air sungai yang dulunya menjadi sumber utama kini telah tercemar akibat aktivitas PETI, sehingga tidak layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari para santri dan santriwati.
Keresahan ini juga didukung oleh data ilmiah. Peneliti dari Universitas Muara Bungo (UMB) melakukan survei dan menemukan fakta mengejutkan. Dalam kurun waktu satu bulan, mereka menemukan 2 hingga 3 unit alat berat PETI beroperasi di setiap stasiun pengamatan. Kondisi sungai pun memburuk, dengan ketinggian air yang menurun drastis.
Hasil uji laboratorium terhadap sampel air yang diambil pada 13–17 Juli 2025 menunjukkan kadar merkuri (Hg) yang jauh di atas ambang batas aman. Di Stasiun II Dusun Karak Apung, kadar merkuri mencapai 0,144 ppm, 72 kali lipat dari ambang batas aman.
Sementara itu, di Stasiun III Dusun Pasar Buat, kadar merkuri mencapai 0,059 ppm, hampir 30 kali lipat dari batas aman yang ditetapkan pemerintah.
Berbagai pihak, mulai dari masyarakat, pengelola pendidikan, hingga akademisi, kompak menyimpulkan bahwa aktivitas PETI sangat berbahaya jika terus dibiarkan tanpa tindakan tegas. Mereka mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk serius menindak para pelaku.
Ziqri Julian Saputra, mewakili suara masyarakat, menutup pernyataannya dengan tantangan. “Jadi bagaimana Bapak Bupati dan juga Bapak Kapolres serta pihak penegak hukum sekitar wilayah Kabupaten Bungo, apakah statement yang Bapak sampaikan kemarin hanya sebagai janji manis saja untuk masyarakat?” ujarnya. Ziqri menegaskan, masyarakat akan terus menagih janji yang pernah diucapkan, baik janji Bupati mengenai program 100 hari maupun janji Kapolres untuk mewujudkan “Zero PETI”. (Rido Asran)







