Internasional, Baru-baru ini Indonesia dan China telah melakukan suatu kerja sama diplomatik. Ketika sebuah kerja sama telah disepakati, sering kali sorotan publik hanya terfokus dengan manfaat dan dampak baiknya. Tapi, bagaimana jika isi dari kerja sama itu berpotensi melemahkan posisi Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayah maritimnya? Karna sayangnya, Joint Statement (pernyataan bersama) yang ditandatangani kedua pemimpin negara antara Indonesia-China pada 9 November 2024 lalu, menuai banyak kritik.
Sebab kerja sama ini tidak hanya membawa peluang yang baik untuk kepentingan negara, tetapi juga menimbulkan adanya tantangan besar terkait kedaulatan wilayah laut Indonesia. Salah satu poin yang termuat dalam Joint Statement antara Indonesia-China, menyebutkan “pengelolaan bersama sumber daya laut” kemudian Joint Statement ini juga menyebutkan bahwa “adanya pemahaman bersama terkiat tumpang tindih”, poin-poin ini memunculkan pertanyaan penting : apakah dengan ditandatangani Joint Statement ini merupakah langkah bijak, atau malah menimbulkan celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak lain?
Poin ke-9 dalam Joint Statement ini menekankan bahwa kedua pihak dalam hal ini Indonesia-China telah menekankan adanya kerja sama dalam pengelolaan sumber daya laut di wilayah yang dianggap tumpang tindih. Sepintas, mungkin hal ini terdengar positif sebagai suatu langkah untuk mencegah adanya konflik.
Tetapi, hal ini menimbulkan banyak kritik karna sebenarnya “tumpang tindih” tidak pernah diakui oleh indonesia sebelumnya. Sebab Laut Natuna Utara yang diakui China memasuki wilayah “Nine-Dash Line” dianggap tidak berdasar.
Bagi Indonesia kawasan seperti Laut Natuna Utara merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif yang perhitungan sudah sesuai dan memenuhi UNCLOS 1983 (Konferensi Hukum Laut Internasional 1982). Sementara klaim
China akan kawasan ini melalui peta “Nine-Dash Line” tidak diakui oleh hukum internasional.
Hal ini bahkan telah diputuskan dalam, putusan pengadilan arbitrase pada tahun 2016. Dalam hal ini, perlu kita pertanyaan apakah kita sedang membuka ruang negosiasi atas hak kedaulatan yanh sudah jelas?
Walaupun pihak pemerintah telah menegaskan bahwa Joint Statement ini tidak berarti Indonesia membenarkan adanya klaim tumpang tindih. Tapi, hal ini tetap perlu diwaspadai. Sebab isi daripada Joint Statement yang telah disepakati telah menimbulkan celah.
Ketika kita setuju untuk mengelola sumber daya secara bersama, apa artinya bagi kedaulatan kita? Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi posisi Indonesia yang selama ini konsisten menolak klaim sepihak China.
Selain itu, pengelolaan bersama akan berdampak sulit bagi Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran seperti penangkapan ikan secara ilegal atau bahkan eksplorasi sumber daya tanpa izin di peraiaran kita. Sebab Joint Statement poin ke-9 telah mengatur segala kerja sama yang dilakukan mulai dari pengelolaan, pengawasan, bahkan sampai eksplorasi “Both sides agreed to make full use of the China-Indonesia Technical Committee on Maritime Cooperation (TCM) at senior official level and the China-Indonesia Maritime Cooperation Fund. They aim to deepen cooperation on marine scientific research and environmental protection, navigation safety, deep-sea exploration, disaster prevention and mitigation, and maritime capacity building.”
Namun, jika kita pahami lebih lanjut Joint Statement ini tidak hanya membawa ancaman. Indonesia juga memiliki peluang untuk menjadikan kesepakatan ini untuk memperkuat posisi diplomatik di kawasan.
Dengan memegang prinsip hukum laut intenasional, kita bisa menegaskan bahwa pengelolaan bersama ini tidak boleh mengurangi hak kedaulatan kita di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Serta peran kita sebagai masyarakat sangatlah diperlukan untuk menjaga kedaulatan wayah Indonesia. Kita perlu mendorong keterbukaan informasi dan memastikan bahwa setiap langkah diplomasi mencerminkan kepentingan bangsa.
Penulis : Riska Awliah
Profesi : Mahasiswa Hukum Universitas Jambi
Email : awliahr@gmail.com
No. Hp : 0895604270764
Gambar : wikipedia