International, – Pekan lalu, Indonesia dihebohkan dengan berita terkait pernyataan bersama antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping di Beijing. Dalam peristiwa yang terjadi pada 9 November 2024 itu, antara lain, disepakati, China akan menanam modal sebesar Rp 157 triliun di Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia mendukung visi keamanan, pembangunan, dan peradaban China. Dalam pernyataan bersama itu, disebut pula tentang pengembangan bersama wilayah atau area yang saat ini tengah berada dalam situasi tumpang tindih klaim.
Hal ini menarik perhatian para pakar hubungan internasional dan hukum maritim tidak hanya di Indonesia dan Asia Tenggara, tetapi juga banyak negara lain di dunia. Pasalnya, Indonesia diketahui bukan negara yang memiliki klaim atau bersengketa wilayah di kawasan Laut China Selatan. Indonesia dan China sama-sama meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982 yang mengatur mengenai batas kedaulatan maritim setiap negara.
Umumnya, para pakar mempertanyakan frasa ”overlapping claims” atau klaim-klaim yang bertindihan ini sebagai hal sangat penting. Alasannya karena di perjanjian itu tidak ada penjelasan mengenai klaim-klaim tersebut. Apakah tumpang tindih itu mengacu kepada klaim sejumlah negara di Asia Tenggara, China, dan Taiwan, atau ada klaim yang lain?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo mengatakan, pernyataan bersama itu bisa dipandang sebagai pengakuan Indonesia terhadap wilayah yang tumpang tindih di Laut China Selatan.
”Secara yuridis dapat dianggap sebagai pengakuan secara diam-diam klaim (tacit recognition) terhadap sembilan garis putus-putus (nine dash line) China atas Laut China Selatan, khususnya Laut Natuna Utara,”.
Sementara itu, mantan Hakim Agung Filipina Antonio Carpio, kritikus vokal klaim China di Laut China Selatan, menyebut pernyataan Prabowo-Xi sebagai kesalahan besar. Dia mengatakan, Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih ataupun sengketa perbatasan dengan China karena garis pantai China lebih dari 360 mil laut (667 kilometer) dari wilayah yang disebut akan dijadikan area pengembangan bersama.
”China jelas tidak memiliki klaim atas wilayah tersebut berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Menyetujui ’pengembangan bersama’ dengan China berarti mengakui klaim China di luar UNCLOS—yang merupakan klaim sepuluh garis putus-putus,” kata Carpio, sebagaimana dikutip dari Kompas.id. Rabu (13/11/2024), dalam berita bertajuk: ”Soal Klaim Tumpang Tindih, Indonesia Dinilai Naikkan Moral China, tetapi Memukul ASEAN”.
Penulis : Cindy Marliana