Merangin, Benuajambi.com – Sebuah pernyataan tegas dan keras disampaikan oleh sekelompok warga Jambi yang tidak ingin disebutkan namanya, menyikapi maraknya dugaan ancaman, intimidasi ilegal, serta perambahan kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pernyataan ini menegaskan penolakan mutlak terhadap segala bentuk tindakan semena-mena yang dianggap merusak tatanan adat, hukum, dan kelestarian lingkungan di wilayah Jambi, khususnya Merangin.
Pernyataan yang beredar luas tersebut menyoroti beberapa poin krusial yang dianggap meresahkan masyarakat setempat.
Warga Jambi secara kolektif menyatakan bahwa segala bentuk ancaman, baik melalui media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari, tidak dapat ditoleransi.
“Tindakan demikian mencerminkan ketidakdewasaan, tidak beradab, dan tidak layak dilakukan antar sesama umat ciptaan Tuhan,” tegas pernyataan tersebut. Sabtu, (15/11/2025).
Selain itu, masyarakat juga menolak keras setiap tindakan sewenang-wenang berupa penyelenggaraan acara, forum diskusi, pertemuan, perkumpulan, maupun berbagai bentuk intimidasi yang dilakukan tanpa izin resmi dari pihak berwenang. Mereka menilai cara-cara seperti itu hanya menunjukkan tindakan yang bersifat ilegal dan sarat kepentingan pribadi atau kelompok.
Salah satu isu utama yang diangkat adalah dugaan perusakan kawasan konservasi. Warga menuding adanya pihak-pihak yang membabat habis TNKS, kawasan adat, dan kawasan lindung negara di daerah mereka, padahal di daerah asal pihak tersebut masih terdapat hutan luas yang dapat dijadikan lahan usaha.
Warga juga mengecam keras penggunaan alasan “program Presiden Jokowi” atau “hak setiap warga negara” untuk membenarkan perambahan TNKS, yang mana kerap dijadikan pembenaran oleh oknum-oknum tertentu, termasuk yang mengatasnamakan SPI.
“TNKS adalah kawasan konservasi dunia yang dilindungi secara hukum nasional dan internasional. Tidak ada alasan dan tidak ada pembenaran untuk merusaknya,” bunyi pernyataan tersebut, menekankan bahwa menjual nama negara demi keuntungan pribadi adalah tindakan yang memperburuk citra.
Pernyataan ini juga menantang pihak-pihak yang mengklaim membawa mandat negara untuk menggarap TNKS agar menunjukkan bukti resmi, seperti surat keputusan, rekomendasi pemerintah, ataupun kehadiran perwakilan lembaga berwenang.
Dalam konteks hukum dan sosial, warga juga menyinggung status pendatang di Merangin yang sebagian telah menjadi WNI resmi dengan KTP, tanah bersertifikat, dan rumah bersertifikat.
“Dengan status dan fasilitas hukum tersebut, seharusnya kalian lebih memahami aturan, lebih menghargai adat, dan lebih menjaga ketertiban di daerah ini—bukan sebaliknya,” kritik warga, sembari menanyakan mengapa pendatang lain diterima dengan baik, sementara mereka yang disoroti justru menimbulkan penolakan.
Terakhir, warga menegaskan prinsip adat Jambi, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
“Siapa pun yang berpijak di tanah Jambi wajib menghormati adat Jambi. Bagi kami, adat adalah martabat, kehormatan, dan harga diri yang tidak bisa ditawar oleh siapa pun,” tutup pernyataan tersebut.
Warga Jambi juga mengingatkan bahwa sejak tahun 2015, pihak yang disorot telah menandatangani Pernyataan Piagam Sungai Tebal, yang mengikat secara moral dan hukum sosial.
“Maka wajib kalian tepati, bukan diingkari. Jika sudah menandatangani, hormatilah isi dan janji kalian sendiri sebagaimana orang terhormat menghormati ucapannya.” Pernyataan ini ditutup dengan harapan agar tercipta kedamaian dan penegasan bahwa Jambi adalah daerah beradat, bermartabat, dan berlandaskan hukum.
Hormatilah daerah kami sebagaimana kalian ingin dihormati di tanah kalian sendiri.
(Rido)






